Jumat, 26 Februari 2010

One night in station.

About 19th December 09, One night in station.
Hari yang melelahkan.
Angin, aku titip salam untuk ksatria ku lewat alunan angin dari mobil angkutan yang membawaku ke kampus. –gak romantic. Coba dari pantai atau gunung- yang tidak pernah bisa menggantarkanku ke tempat ini.
Pasti telat. Angkutan ini seperti merayap!. Padahal kuliah pasti sudah dimulai. Tiba-tiba HP-ku berdering, Ah, Miss.. Dosen satu ini emang istimewa, baru telat udah ditelpon
“Where are you girl? Class will be started soon”
“Yeah, sorry miss. I’m on the way now. May be I’ll come late”. Klik, terputus.
Kuliah yang membosankan. Aku ingin tempat ini bukan hanya soal absensi. Lalu duduk di atas kursi kayu dan menjadi penonton. Aku ingin mendapat banyak ilmu. Tempat mengeluarkan semua isi otak ku sekaligus mengetahui isi otak orang lain tentang pelbagai hal dan tempat melepaskan hasrat masa mudaku.
Berhenti. Akhirnya.
Aku berjalan diatas trotoar yang sepanjang jalannya adalah street food courts yang lezat. Tempat untuk nongkrong gak jelas dengan fanta float, fried fries hingga tahu goreng. Huff,. Kapan cepat lulus ya, cepet pinter?
Ketika dunia terus berputar, aku masih berbicara dalam kelas speaking melakukan apa yang aku inginkan, mengeluarkan isi otakku. Lembayung senja tak berwarna jingga kerena mendung, melainkan nuansa violet dan mega-mega merah dibayangi langit gelap. Lampu kota mulai menyala dan suara adzan bersahutan dari masjid- masjid sekitar. Mulutku komat-kamit menjawab adzan. Saatnya pulang.
Gelap. Tak hanya lampu-lampu kota yang menemaniku, bintang-bintang juga menerangiku dengan cahayanya yang lemah tertutup gemerlapnya dunia. Tonight, I just wanna take a walk. Sesekali menoleh dengan teman seperjalananku kali ini. Seorang wanita yang beberapa tahun lebih tua dariku, salah seorang wanita tangguh yang pernah kutemui dibalik kekurangannya atas nama seorang manusia. I wish, may you happy whole your life, Miss,..
Kami bercerita sepanjang perjalanan pulang. Angin memang menerpa jilbabku, tapi ia tak cukup tangguh merusaknya. Sesekali angkutan ini berhenti untuk menaikkan penumpang sebelum tujuan akhirnya adalah terminal. Tanpa sengaja aku berbalik dan melihat seorang penumpang, keren!. Aku ingin melihat wajahnya sekali lagi, tapi laki-laki itu menolak, memalingkan wajahnya memandangi deretan pertokoan disepanjang jalan. seakan berkata. “Jangan pandangi aku dengan mata nafsumu gadis. Atau kerlingan matamu bisa membangkitkan desiran darah mudaku ini.” Dan hatiku membenarkannya. “kamu benar, maaf! ” aku tersenyum kecil.
Aku menoleh pada Guruku yang menceritakan kehidupannya, hidup sendiri bersama seorang ibu tua dan sebagai wanita lajang dengan hasrat ingin menikah. Aku tersenyum. Doaku dalam hati ketika beliau turun adalah, hati-hati dikehidupanmu, semoga lekas dapat jodoh yang baik miss,.
Terminal begitu lenggang, wajar ini sudah larut malam. Aku menggambil tempat duduk di diantara para ibu-ibu yang berwajah letih menanti bus,bapak-bapak yang rindu dengan anaknya, seorang pengemis tua yang yang tadi pagi mengemis di pengajian murid Almarhum kyai Asrrori, pengamen –pengamen bus antar kota, juga preman yang berasal dari desa sebelah yang wajahnya sangat familiar denganku. Pada pertemuanku sebelumnya dengannya, dia memperkenalkan diri sebagai murid dari kakek ku sewaktu di madrasah dulu. Dia tersenyum padaku.
“Tumben nduk”
Aku menjawab dengan senyuman.
“lek jare pak guru biyen, sopo seng lenggah paling anteng, iku sing oleh mole disik” dia menoleh padaku dan tersenyum lebar dengan gigi ompongnya “lenggah sing anteng!”
Aku melebarkan senyumanku padanya.
Dia berteriak diantara keramaian pengamen yang bernyanyi sendiri. Andai aku bisa request lagu, Plain white T’s yang judulnya Hey there Delilah!
Tak lama bis datang.
Aku menggangukkan kepala tanda perpisahan pada preman itu, aku memberinya nama “Untitled” karena dia tidak pernah memberitahu namanya padaku.”Dulu” katanya, “mbahmu sering meludahi muridnya yang nakal, yang tidur saat pelajaran dengan ludah bau seorang perokok berat. Rupanya hukuman itu belum cukup untuk membuatku belajar. Harusnya kau suruh mbahmu bawa kayu rotan untuk memukulku”
Aku tersenyum geleng kepala. Aku mengerti maksudmu pak. Mengingatkanku pada puisi lama sewaktu madrasah
Aku lalai dipagi hari
Beta lengah dimasa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, Miskin harta
Kini aku sudah besar, sudah mampu mengartikan sebuah puisi dari pemaknaan hermenetik dan herestiknya. Aku juga bisa memahami lagu yang dibawakan pengamen didalam bus ini. Yang mengisahkan kerinduan seorang kekasih yang mendalam akan tawa manja kekasihnya. Touchy.
Aku meloncat turun dari bus tepat didepan gapura desaku. Rupanya langit sayang padaku, hujan tidak turun malam ini. Perjalanan malam memang selalu istimewa dan tak pernah biasa. Setidaknya, untuk mengisi diary-ku malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar